.

Kamis, 26 Maret 2015

Iri Tapi Tak Ingin Memiliki



Ditulis Oleh : Muhammd Rais Fadillah

Dengan tradisi kejujuran yang terpelihara, kehidupan masyarakat muslim berjalan dengan kualitas yang tinggi dan dinamis. Keteraturan social terpraktikan dengan pola yang sangat sempurna. Pemimpin mereka amanah, pejabat mereka anti korupsi, aparat mereka enggan bertindak khianat, hakim mereka adil, pedagang mereka jujur, dan setiap individu mereka enggan melanggar hak dan kehormatan saudaranya. Begitulah kondisi kaum muslimin diawal fajar sejarahnya. Berbagai karakter postif terangkai di sanubari akhlak mereka.

Prestasi social itu tentu saja, tidak bisa tidak, meyembulkan gesah hati pada komunitas yang lain. Terutama pada pihak yang sejak awal memang tidak suka dengan keberadaan umat Islam. Orang-orang ini merasa cemburu,iri, atau lebih tepatnya jengkel. Begitu kuatnya gelegak jengkel itu, seolah hendak melipat habis seluruh ruang perasaan mereka. Ini wajar dialami oleh orang yan melihat kebaikan dan kemujuran pada diri orang lain yang dia benci. Apalagi jika pada saat yang sama mereka sendiri tengah megap-megap dalam kubangan berduri.
Namun sayang, orang kafir ini bukanlah orang yang cerdas mengambil pelajaran. Normalnya, tentu mereka akan mempelajari hidup resep harmonis ala masyarakat muslim itu, sehingga sehingga mereka dapat meniru dan meraih kenyamanan sosial sebagaimana mereka. Akan tetapi tidak, mereka justru berusaha merusak , menjerat dan memprovokasi masyarakat muslim agar meninggalkan gaya hidup penuh kejujuran yang mereka anut. Disinilah kesalahannya. Mereka ingin agar manusia-manusia jujur itu berubah menjadi pendusta seperti mereka,  dan akhirnya ikut dalam kesemrawutan hidup. Sekali lagi,seperti mereka.

sukseskah upaya orang kafir tesebut?
Tidakpada awalnya. Upaya mereka untuk menjerat kaum muslim dalam  lumpur dusta selalu gagal total. Pernah orang yahudi khaibar berusaha menyuap petugas pajak yang mendatangi mereka, Mu’adz bin Jabal, agar mau mengurangi jumlah tanggungan pajak yang harus mereka bayar. Namun apa jawaban dari Mu’adz?

“Demi Rabb langit dan bumi!” seru pemuda kebanggaan masyarakat muslim itu,”sesungguhnya kalian adalah kaum yang paling aku benci. Kalaulah bukan karena perintah Rasulullah, tentu aku tidak akan sudi bersinggungan dengan kalian.”

Mendengar penolakan Mu’adz itu, org Yahudi hanya bisa cengar-cengir sambil garu kepala.
Namun, sedikit demi sedikit upaya orang kafir itupun mulai membuahkan hasil. Bahkan sebenarna sejak masyarakat muslim terbentuk di kota Madinah, diantara mereka telah muncul manusia berkarakter aneh. Beragama Islam. Namun bencinya sangat terhadap Islam, juga terhadap masyarakat Islam,mereka suka bergaya seakan merekalah penjunjung agama. Sehingga kerap kali mereka berbicara bekebalikan jika bertemu dua pihak yang berbeda. Inilah jenis orang yang dikenal dengan istilah Munafik.

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.

Q.s Al-Baqarah : 8-9

Yup, kemunafikan lahir dari sifat dusta. Ia serupa topeng cantik yang dikenakan untuk menutupu bopeng yang menjalar seantero muka. Gaya mereka hanyaah pura-pura. Hobi mereka menimbun dusta. Tak beda dengan ular yang bercabang lidah, hati dan sikap mereka pun ikut membelah. Maka tak heran jika kemudian Nabi SAW menyebut gaya mereka ini,dusta, sebagai salah satu ciri kemunafikan. Bahkan beliau SAW masih bisa mentolerir maksiat yang ada pada diri seorang mukmin, namun tidak untuk dusta.

“Seorang mukmin(bisa saja) memiliki tabiat jelek, kecuali khianat dan dusta”

HR. Al- Bazar


0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Feature 3

Feature 2

Popular Posts