.

Kamis, 18 Juni 2015

Kasihan, Pontang-panting Membela dan Memperjuangkan Kekafiran

Mengherankan sekali. Ada orang atau sekelompok manusia yang, bukan karena salah makan obat, tapi tingkahnya mirip…, hingga pontang-panting membela dan memperjuangkan agama kafir, agar resmi diakui.
Tidak peduli urusan yang seharusnya dia urusi. Misalnya, begitu wilayah DKI Jakarta dipimpin oleh orang kafir, atau wilayah-wilayah lain yang penguasanya orang kafir, sudah berapa masjid (rumah Allah) yang digusur dan dirobohkan.
Berapa masjid yang seharusnya dibangun namun tetap dihalangi oleh penguasa kafir seperti di Bali. Berapa pekuburan Muslim yang seharusnya diadakan namun tetap tidak dibolehkan oleh penguasa kafir seperti di Bali.

Berapa kepala sekolah Muslim yang dipelorot, jabatannya diganti dengan yang lain. Berapa punggawa tingkat kampung dan seterusnya yang telah digeser hanya gara-gara tampak rajin mengamalkan Islamnya. Berapa wakaf tanah untuk kepentingan Islam yang telah diserobot orang. Sudah berapa jumlahnya, tidak dipedulikan. Padahal itu menjadi urusan utamanya. Namun justru yang bukan jadi urusannya diurusi. Hingga dia pontang-panting demi mengupayakan agar agama kafir diakui untuk urutan ke sekian di negeri ini.
Bertungkus lumus (berpayah-payah) seperti itu masih pula ditambah untuk cari muka kepada orang kafir dalam membela aliran sesat syiah yang memusuhi dan membunuhi umat Islam di dunia ini dari dulu sampai sekarang. Hingga berani melabrak tokoh-tokoh Islam Madura yang telah disakiti dan dikhianati syiah. Tidak peduli syiah itu merusak akidah Islam dan menyakiti umat Islam atau tidak. Pokoknya aliran sesat syiah harus diperjuangkan.
Benarlah firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [الصف : 5]
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik,” (QS Asshaf: 5).
Maksudnya karena mereka berpaling dari kebenaran, maka Allah membiarkan mereka sesat dan bertambah jauh dari kebenaran.
Para pembela kafir sadarlah
Wahai para pembela kafir, yang kini mengaku Muslim, sadarlah. Sejarah telah membuktikan, tokoh pejuang yang namanya Ahmad Lussy Pattimura dan dibunuh oleh penjajah kafir Belanda di tiang gantungan pada 16 Desember 1817  saja kemudian diganti namanya dengan pakai Thomas segala, dan dianggap beragama Kristen. (Masa’ sih, orang Kristen memberontak penjajah Belanda hingga digantung oleh Penjajah Belanda yang Kristen itu).
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.
Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya de-Islamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di China. Pemerintah nasionalis-komunis China berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat.
Tokoh Muslim ini (Pattimura) sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi di zaman ini dia lebih dikenal dengan nama Thomas Mattulessy yang identik dengan Kristen.
Asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).
Sekali lagi, menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya de-Islamisasi dalam penulisan sejarah. (lihat Artikel Pattimura Dikristenkan Paksa, agung pribadi http://islamthis.wordpress.com/2011/09/15/pattimura-dikristenkan-paksa-oleh-ambon/)
Setelah kita renungkan upaya pengkristenan pahlawan yang sudah meninggal, coba kita pikirkan. Lebih layak mana untuk dianggp bukan Islam, nantinya. Apakah kalian yang jadi pembela kafir penjajah masa kini dan senantiasa berupaya menyakiti Umat Islam untuk cari muka kepada bos dan cukong kalian yang kafir, baik di dalam negeri maupun luar negeri, ataukah pejuang yang namanya saja Ahmad dan mati digantung oleh penjajah kafir Belanda?
Rugi sekali. Hidup satu kali saja kini menjadi pembela kafir bahkan berupaya untuk diakui sebagai benar-benar pembela kafir, hingga pontang-panting untuk berusaha meresmikan agama kafir dengan berbagai cara agar diakui. Kasihan!
Ingatlah ancaman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا   [النساء : 140]
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam (neraka) Jahannam, (QS An-Nisaa’: 140).

Sumber : salam-online

Rabu, 17 Juni 2015

Tayangan TV di Indonesia Dinilai tak Bawa Manfaat

ayangan televisi dinilai gagal memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan tayangan yang sehat dan bermanfaat. Banyak tayangan bermuatan kekerasan, pelecehan terhadap kelompok tertentu, ghibah dan acara tidak bermanfaat lainnya yang mendominasi siaran televisi di Indonesia.
Praktisi pertelevisian Maman Suherman mengatakan, untuk bisa sampai ke rumah warga, stasiun televisi menggunakan gelombang frekuensi. Pengelolaan frekuensi selama ini dibiayai melalui pajak yang dibayar oleh publik. Karena itu, kata dia, frekuensi merupakan milik publik dan penggunanya harus memberikan manfaat kepada masyarakat.
“Karena sudah meminjam frekuensi dan mengambil untung dari siaran iklan, stasiun TV wajib menyediakan tayangan yang sehat dan bermanfaat kepada masyarakat,” katanya, Sabtu (21/2) seperti dikutip Republika Online.

Menurutnya, saat ini pertelevisian di Indonesia tidak memberikan banyak manfaat terhadap masyarakat. Konten yang diberikan banyak yang justru merugikan masyarakat karena tidak mengandung unsur edukasi maupun informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Industri pertelevisian tidak sedikit yang hanya mengejar rating untuk mendapatkan banyak iklan. Berita pun sudah diproduksi sesuai kepentingan pemilik media, sehingga berita bohong, fitnah dan tidak berimbang kerap menjadi suguhan yang disajikan televisi.
Dia menyarankan, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berkoordinasi untuk menyelesaikan persoalan ini. Sebab, hal ini tidak bisa terus dibiarkan karena publik banyak dirugikan. Maman mengusulkan agar dibuat perbedaan kode etik antara jurnalisme televisi dan tulis.
“Dan yang penting kode etik antara jurnalisme televisi dan tulis harusnya dibedakan, selama ini kan sama dengan kode etik jurnalistik itu,” ujarnya. (ROL)

Sumber : salam-online.com

Hari Ibu Lahir dari Semangat Anti-Feminisme

Tahun 1938 atau 76 tahun yang lalu, organisasi-organisasi perempuan Indonesia mengadakan Kongres Perempuan di Bandung. Kongres tersebut memutuskan agar setiap tanggal 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu dengan semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma”.
Maka, tulis Sujatin Kartowijono dalam bukunya Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia, kaum wanita mulai menghayati cita-cita Ibu Keluarga, Ibu Masyarakat, dan Ibu Bangsa[1].
Adanya Hari Ibu, fungsi dan peran perempuan, oleh organisasi-organisai perempuan Indonesia, dikembalikan pada tempatnya semula karena pada tahun-tahun tersebut telah lahir gerakan-gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, seperti Poetri Merdika yang didirikan pada tahun 1912 di Jakarta dengan bantuan Budi Utomo dan mempropagandakan gagasan-gagasannya mengenai emansipasi melalui koran mereka, Poetri Merdika[2], kemudian Istri Sedar, didirikan di Bandung pada tahun 1930, yang akhirnya berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) setelah sembilan tahun Indonesia merdeka[3].
Corak feminis yang melekat pada Istri Sedar terlihat dari berbagai tulisan para anggotanya yang dimuat dalam koran mereka bernama Sedar, salah satunya dalam tulisan berjudul “Persamaan Hak dan Persamaan Kewadjiban”, September-Oktober 1931, “Apakah kewadjiban dari perempoean Indonesia sekarang? Ialah bekerdja soepaja sebagai manoesia sepenoeh-penoehnja sebagai manoesia, jaitu soepaya diakui bahwa haknja haroes sama dengan lelaki.”
Kemudian seiring dengan pergantian rezim dan semakin berkembangnya pergerakan perempuan Indonesia yang ditandai dengan munculnya organisasi, lembaga-lembaga maupun pusat studi wanita yang beraliran feminisme, Hari Ibu seakan-akan telah tergantikan dengan Hari Perempuan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Hari perempuan lebih patut diperingati daripada Hari Ibu, karena kata “Ibu” sendiri mencerminkan penindasan bagi perempuan dan dianggap mempersempit ruang gerak perempuan.
Penolakan feminis terhadap domestikasi perempuan atau peran perempuan sebagai Ibu  Rumah Tangga menuai dukungan dari seorang feminis Indonesia dengan melahirkan istilah “Ibuisme Negara”. Istilah ini juga disebut-sebut sebagai respon atas Pancadharma yang dibuat pada era pemerintahan Soeharto.
Pemerintahaan pada era Soeharto saat itu, sebagaimana ditulis Dewi Candraningrum, dalam makalahnya Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu, merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadharma, pen), yaitu: Pertama, wanita sebagai istri pendamping suami. Kedua, wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda. Ketiga, wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga. Keempat, wanita sebagai pencari nafkah tambahan. Kelima, wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat[4].
Hari Ibu-Komite Kongres Perempuan Indonesia 1928. Sumber foto thisisgender.com-jpeg.image
Komite Kongres Perempuan Indonesia 1928. (Sumber foto: thisisgender.com)
Ibuisme Negara dalam perspektif feminis merupakan Weltanschauung (pandangan dunia, pen) yang memangkas identitas eksistensial perempuan sebagai manusia seutuhnya. Darinya perempuan dibonsai, dipangkas, dikerdilkan, direduksi, pada arena domestik—sebagai istri, sebagai ibu, sebagai pendidik dan penanggungjawab terhadap anak, dan penyokong negara. Memenjara Ibu hanya pada fungsi-fungsi di atas juga dianggap feminis bersifat sangat Freudian, eksklusif, tidak egaliter, subordinatif dan represif terhadap perempuan[5].
Padahal, faktanya, gerakan-gerakan perempuan Indonesia dulu menolak persamaan hak berbungkus emansipasi, di sisi lain mereka tidak merasa disubordinasi, di eksklusifkan, diperlakukan represif, direndahkan maupun ditindas karena peran mereka sebagai Ibu Rumah Tangga ataupun sebagai Ibu Pendidik.
Penolakan ini tercermin dalam koran-koran yang mereka tulis, seperti Soenting Melajoe pada edisi 31 Desember 1914, koran yang didirikan oleh Ruhana Kudus—Jurnalis Muslimah pertama di Indonesia asal Sumatera Barat. Intinya tertulis bahwa memuliakan perempuan tidak boleh melebihi martabat laki-laki:
“Maka dari sebab itoe haroeslah pada pikiran saja yang hina lagi bodoh ini soepaja kita bersama-sama memoeliakan perempoean kita itoe (tetapi) tidak boleh melebihi martabat laki-laki, soepaja perboeatan maasiat itoe tiada dilakoekan dengan begitoe gampang sekali dan dengan demikian ini terselamat bangsa kita dari pada kehinaan doenia dan nista bangsa-bangsa lain serta terpelihara mereka itoe daripada hoekoeman achirat jang siksa dan sengsara itoe.”
Kemudian koran Isteri edisi Desember 1929 milik Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), dimana Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIB perempuan) dan Aisiyah tergabung di dalamnya, ikut menolak feminisme, “Dari sebab orang perempoean itoe di titahkan halus badannja, lemboet pikirannja, lemah perasaannja, tidak sama dengan laki-laki, adalah kasar, koewat, keras, teristimewa perempoean itoe mengoeroes kewadjibannja sendiri seperti: mengandoeng anak, melahirkan, memberi air soesoe anak, mengasoeh, mendidik, dsb, maka tentoelah tidak dapat sempoerna akan mendjalankannja kewadjibannja sendiri. apakah baik kesehatan iboe jang sedang sedang dirinja mengandoeng anak, dengan beres bolehnja bekerdja di goedang-goedang? Apa kiranja bisa menggali goenoeng dengan berhenti melahirkan anak?? Apakah dapat berbaris dengan memberi air soesoe anaknja??? Apakah sempoerna bolehnja mengasoeh anaknja djika ia mendjadi poelitie (Polisi, red) atau resisir??? Soedahlah soedah!! Soenggoeh moestahil sekali dan tidak dapat, karena bertentangan dengan natuur.”
Selain itu, Pengurus Ibu Sibolga, Medan, melalui korannya Soeara Iboe edisi Juni 1932 juga menekankan agar pergerakan perempuan Indonesia jangan sampai seperti perempuan Barat.“Djadi semestinja bagi kita kaoem perempoean tentangan jang hendak madjoe dalam pergerakan itoe, hendaklah djangan sampai sebagai mereka (perempoean Barat).”
Lalu salah satu Panitia Peringatan Hari Lahir RA Kartini, Soekarsih, menuturkan dalam artikelnya di koran Merdeka edisi 20 April 1946, bahwa perempuan Indonesia tidak perlu mengejar emansipasi. “Kini kita tidak begitoe perloe mengedjar “emansipasi” atau “persamaan hak” karena sebagian besar dari masjarakat kita telah menghargai kedoedoekan wanita.”
Penolakan-penolakan tersebut memperlihatkan bahwa organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang pada tahun 1938 mengadakan kongres di Bandung membawa semangat anti-feminisme, selain menyerukan semangat anti imperalisme dan kolonialisme.
Hari Ibu-Beberapa surat kabar perempuan dimasa silam. Sumber foto Dok. pribadi Sarah Mantovani-jpeg.image
Beberapa surat kabar perempuan di masa silam. (Sumber foto: Dok. pribadi Sarah Mantovani)
Kalaulah para organisasi perempuan saat itu tidak membawa semangat anti-feminisme, pastilah mereka tidak menamakan Hari Perempuan dengan Hari Ibu.

Sumber : salam-online.com

“Pemerintah Myanmar Memberi Mereka Senjata untuk Membunuh Kami”

Salah seorang pengungsi Muslim Rohingya di Aceh, Nur Hassan namanya, adalah seorang hafidz Qur’an. Dalam bahasa Arab yang terbata-bata karena menahan rasa sedih dan haru, ia secara singkat menceritakan penderitaan Muslim Rohingya.
Berikut petikan percakapan singkat Hardiansyah—relawan sebuah lembaga kemanusiaan—dengan Nur Hassan (24), pekan lalu, dalam bahasa Arab yang sudah di-Indonesia-kan.
Apa benar di kampung (tanah air) Anda di Rohingya, terjadi pembantaian dan pembunuhan yang dilakukan oleh ekstremis Budha terhadap Muslim?
Nur Hassan (NH): Demi Allah, mereka membunuh kami. Kami sedikit, kami tidak ada kekuatan.
Ayah Ibu Anda masih ada?
NH: Ibu masih ada, ayah saya sudah dibunuh saat sedang shalat… Kawan-kawan Muslim Rohingya yang di Aceh, (sebagian mereka) ada bapak dan ada ibu mereka, sedang saya di sini tidak ada ibu dan bapak.
Nur Hassan menjawab pertanyaan dengan bahasa Arab yang sedikit terbata-bata dan hampir meneteskan air mata.


Bagaimana ayah Anda dibunuh di sana?
NH: Ayah saya dibunuh dengan menggunakan pedang oleh kafir Budha.
Apa benar selama ini Anda dan saudara Muslim di sana tidak bisa melaksanakan ibadah dengan tenang?
NH: Kami tidak boleh adzan, tidak bisa merayakan Idul Fitri, tidak bisa Idul Adha, tidak bisa shalat di masjid. Ekstremis Budha melarang Muslim ke masjid.
Lalu, bagaimana Anda bisa menghafal Qur’an?
NH: Saya hafal Qur’an sejak umur 14 tahun. Bapak yang mengajarkan kepada saya. Dia seorang ustadz di Rohingya. Sementara Budhis melarang Muslim untuk menghafal Qur’an, juga melarang membaca Qur’an.
Kenapa Anda dan Muslim Myanmar tidak melawan mereka (ekstremis Budha yang melakukan kekerasan terhadap Muslim)?
NH: Muslim Rohingya sedikit… Kita tidak punya pedang dan senjata. Budha di sana punya pedang dan senjata. Pemerintah (Myanmar) memberi mereka senjata, memberi mereka pedang, dan Budha pakai itu (pedang dan senjata) untuk (menyerang dan membunuh) kami, membunuhi Muslim.
Kami punya masjid, dan saat kami shalat di masjid, kaum ekstremis Budha mengunci (masjid) kami dari luar saat kami shalat, sehingga kami tidak bisa keluar.
Karena Nur Hassan sudah hampir meneteskan air mata, dia kami peluk dan wawancara tidak kami lanjutkan. Selain itu, para relawan asal Qatar telah tiba. Mereka membawa cukup banyak bantuan, dan Nur Hassan harus menemui para relawan dari Qatar itu untuk menerima bantuan.

Selasa, 16 Juni 2015

Pemerintah Uzbekistan Penjarakan Muslimah yang Kenakan Jilbab

Pemerintah Uzbekistan melakukan kampanye pelarangan penggunaaan jilbab bagi wanita Muslimah di kota Tasken. Aparat akan menangkap Muslimah yang tidak mau melepaskan jilbabnya.
Sumber dari radio Al Hurrah di Uzbekistan mengatakan, petugas kepolisian telah melakukan sweeping Muslimah berjilbab di salah satu pasar kota Tasken. Muslimah yang tidak mau melepas jilbabnya akan diseret ke mobil polisi dan dipenjarakan.
“Polisi memaksa untuk melepas jilbab salah seorang Muslimah, yang tidak mau melepasnya maka ditangkap, sedangkan yang menuruti kemauan polisi dibiarkan,” kata salah seorang saksi mata, seperti dilansir alukah.net, Kamis (11/6/2015).
Sumber dari Kementerian Dalam Negeri Uzbekistan membenarkan adanya tindakan tersebut. Pihak kepolisian mencari para wanita Muslimah berjilbab yang berada di pasar.
Namun, petugas kepolisian sendiri banyak yang tidak ingin melakukan tindakan itu. Bahkan banyak dari polisi yang sengaja tidak masuk kerja untuk menghindari tugas sweeping tersebut.
“Ini adalah perjuangan berat bagi umat Islam. Banyak dari aparat polisi yang sengaja tidak masuk kerja untuk menghindari tugas ini, karena tahu itu adalah sebuah pelanggaran agama,” kata salah seorang polisi.
Perlu diketahui, pelarangan penggunaan jilbab bagi Muslimah di Uzbekistan terjadi sejak tahun 2009. Pemerintah menganggap berjilbab adalah tindakan ekstrem dalam beragama.
Pemerintah memaksa wanita Muslimah untuk melepas jilbabnya. Jika tidak mau maka akan dipenjara selama 15 hari atau dikenakan denda. Selain itu, pada 2009 juga pemerintah melarang warganya untuk melakukan penjualan jilbab. Dan kini tindakan itu lebih diperketat lagi

Sumber : salam-online.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Feature 3

Feature 2

Popular Posts