Kemarin siang saya dapat tugas liputan ke Kementerian Perdagangan di
daerah Gambir. Di undangan tertulis acara dimulai jam 11.30, tapi
diawali dengan makan siang. Saya perkirakan inti acara baru mulai
sekitar jam 12.30.
Setelah menghitung estimasi waktu Bekasi-Jakarta naik commuter line
itu sekitar 30 menit (kalo lancar), maka saya putuskan untuk berangkat
dari rumah jam 11 tepat. Kebetulan pas sampai stasiun, keretanya sudah
tersedia.
Biasanya kalau saya naik kereta di jam segitu, saya dapat tempat
duduk. Mungkin karena tadi datangnya mepet pas kereta mau jalan, alhasil
saya harus berdiri menyender. Untung nggak begitu penuh berjejal.
Perjalanan kereta super lancar. Berangkat jam 11.16, jam 11.45 sudah
sampai di Stasiun Gondangdia. Saya memutuskan turun disini karena jarak
ke tempat tujuan lebih dekat. Tinggal naik ojek, atau jalan kaki pun
bisa.
Niatnya saya mau naik ojek. Itu lantaran Febrina, anak magang di
kantor, sudah tiba di lokasi lebih dulu dan ‘memaksa’ saya sampai dengan
segera. Ojek di sekitar Stasiun Gondangdia sangat banyak. Begitu turun
tangga mereka dengan cepat menyerbu.
Risih dikerubuti tukang ojek, saya cuek aja jalan terus. Berlagak
nggak butuh. Toh, di depan sana masih ada tukang ojek yang mangkal tanpa
rebutan penumpang.
Benar kan kata saya. Di depan mata ada tukang ojek lagi ngadem.
Langsung saja saya tawar, ‘Bang, ke Kemendag depan halte berapa?’. Belum
juga sepakat, si abang ojek langsung menaiki motornya. Saya tegaskan
lagi, ‘Berapa bang?’. Dengan pedenya dia jawab, ‘Rp 10 ribu aja’. Dalam
hati, ‘gila tukang ojek jaman sekarang, deket banget gitu aja Rp 10
ribu?’.
Saya akhirnya menawar dengan tawaran yang menurut saya tinggi, ‘Rp 7
ribu deh, Bang!’. Bukannya ditanggapi dengan santai, si tukang ojek
malah nyolot, ‘Duh, jauh saya muternya. Rp 7 ribu tapi situ nyebrang ya
?’. Emosi saya tersulut, saya balas, ‘Kalau nggak disebrangin ya
harusnya Rp 5 ribu!’, dan seketika itu juga saya ngeloyor pergi. Saya
putuskan jalan kaki saja.
Saya SMS Febrina untuk sedikit bersabar karena sebentar lagi saya
sampai. Dia balas, ‘Ok Mbak, SMS yah kalau sudah sampai!’. Ahh..lega deh
dia nggak marah.
Akhirnya, saya menikmati jalan kaki di trotoar seberang gedung MNC
Tower. Terasa sedikit bernostalgia juga karena jalanan ini pernah saya
akrabi saat lebih dari dua tahun menimba ilmu di koran rajawali biru.
Sampai di ujung jalan, saya bertemu lelaki tua renta yang wajahnya
cukup familiar dalam ingatan. Ya, mungkin sekitar satu tahun lalu saya
menjumpainya untuk pertama kali. Kala itu saya bertemu dengannya di
depan warung makan bawah rel, tempat tongkrongan reporter koran rajawali
biru.
Saya coba flashback sedikit momen tersebut. Saya baru turun
dari kereta dan jalan kaki menuju kantor. Saya jalan berdua kawan,
namanya Cindy. Saat itu masih jam 12 siang.
Kami memutuskan makan siang dulu di warung ayam bakar. Sambil
menunggu pesanan, saya celingak-celinguk melihat sekitar. Entah kenapa,
mata ini langsung tertuju pada lelaki yang berdiri di depan warung
dengan dagangan yang ia pikul.
Dari luar sama sekali tak terlihat jenis dagangan apa yang ia jual.
Peralatannya sederhana, hanya dua kaleng kerupuk berkarat. Saya menduga
dia jualan es, atau rujak bebek.
Daripada penasaran, saya dekati dia. Saya tanya, ‘Kek, jualan apa
ini?’. Dia tersenyum sambil mengeluarkan isi dagangan. Gulali. Saya
biasa menyebutnya ‘rambut nenek’. ‘ Nona, ini makanan asli betawi. Udah
jarang yang jual. Mari dicoba,‘ katanya sambil memberikan saya setangkup
gulali gratis.
‘Nona’? Dia panggil saya nona? Hehe..Baru kali ini saya dipanggil
begitu. Oleh pedagang gulali pula. Kemudian saya tanya berapa harganya.
Dia jawab ‘Terserah nona maunya berapa?’. Akhirnya, saya dan Cindy beli
masing-masing Rp. 5000. Lumayan buat cemilan bareng teman-teman.
Pada saat mau membayar, saya sengaja kasih Rp. 20.000 dengan maksud
sisanya ambil saja buat ongkos pulang ke rumah. Saya iba dan ingin
sedikit berbagi. Tapi, ternyata reaksi si kakek diluar dugaan. Dia
menolak dengan keras, bahkan sampai ingin meminta kembali gulalinya.
Saya jadi tak enak hati. Sungguh tidak ada niat merendahkan, hanya
ingin berbagi. Saya minta maaf dan coba menenangkan dia. Saya bilang,
‘Kalau gitu tambahin lagi deh gulalinya jadi Rp 20 ribu,‘. Kakek pun
setuju.
Dia lantas bercerita panjang lebar tentang dagangannya. Tampak begitu bangga dengan apa yang ia hasilkan. Tak sungkan memberi tester gratis pada calon pembeli. Pokoknya puas aja kalau gulalinya dinikmati.
Saya ajak ngobrol seputar kesehariannya jualan gulali. Lagi, saya
merasa iba. Setiap hari dia pulang pergi Jakarta-Bogor memikul dagangan
naik KRL ekonomi. Berangkat jam lima pagi, pulang nggak tentu. Bisa jam 8
malam, jam 10 malam, ya asal kereta masih ada.
Sama sekali tak terdengar sepatah kata pun tentang keluhan yang biasa
terlontar seperti saya berbincang dengan supir taksi, tukang ojek, atau
pedagang siomay. Walau sudah tua, harus diakui semangatnya luar biasa.
‘Dibawa senang-senang saja nona, jangan lihat susahnya’, begitu katanya.
Waktu saya iseng tanya soal keluarga, dia mengaku tidak memiliki
anak. Istrinya juga sudah meninggal. Praktis hidupnya kini tinggal
seorang diri. Sekali lagi, itu bukan alasan untuk mengeluh. Apalagi,
meratapi nasib. ‘Ntar juga saya meninggal, jadi ngapain dipikirin’, ujar
dia enteng.
Itu obrolan pertama kali setahun lalu. Nah, sekarang Tuhan pertemukan
saya kembali dengan si kakek. Tidak ada yang berubah kecuali tubuhnya
yang kian renta.
Saya sapa, ‘Kek, baru keliatan lagi. Masih inget saya nggak?’. Dia
hanya tertawa memperlihatkan deretan gigi yang sudah ompong. ‘Iya nona
tapi lupa-lupa’. Oh ya, ada yang sedikit beda dari dagangan kakek.
Sekarang gulalinya sudah disiapkan per plastik. Jadi, kalau ada yang mau
beli tinggal ambil.
‘Ini se-plastiknya berapa?’ tanya saya. Dia jawab, ‘Rp 2000′. Hah?Rp
2000? Saya tahu harga gulali di pasaran memang tidak mahal. Tapi, dengan
isi yang lumayan banyak begitu rasanya harga Rp 2000 terlalu murah.
Saya hitung, masih ada sekitar lima plastik yang dipajang. Sialnya,
duit di kantong tinggal Rp 15 ribu. Hanya cukup buat ongkos pulang. Saya
jadi nggak bisa beli semua. Cuma beli dua plastik. Duh, nyesel juga.
Saat mau bayar, kakek masih saja seperti dulu. Memberi saya setangkup
gulali gratis untuk dicoba. ‘Ini nona coba dulu nanti menyesal lagi
kalau rasanya nggak enak’. Saya bilang, nggak perlu dicoba kan udah tau
rasanya. Enak kok. Dia tetap memaksa, katanya, takut rasanya berubah.
Dan, nggak cuma saya aja yang dikasih gratisan. Semua calon pembeli
diperlakukan sama. Asal tahu, gulali buatan kakek memakai gula pasir
asli tanpa pewarna. Jadi, flat cuma warna putih gelap khas gula pasir
aja.
Saya nggak asal ngomong atau sedang berpromosi. Teman-teman juga
keluarga saya mengakui itu. Beda banget deh sama yang dijual di tempat
lain, yang pakai warna pink.
Untuk menyenangkan hati kakek, saya cicipi gulali itu. Dia tampak
senang sekali gulalinya saya makan. ‘Masih enak kok, masih sama.
Manisnya pas,’ kata saya jujur. Kakek tersenyum sumringah dan malah
memberi saya setangkup lagi, gratis. ‘Ini ambil lagi buat dijalan’.
Seketika saya ingin menangis. Gulali yang ia jual harganya cuma Rp
2000 per plastik. Kalau laku semua, kira-kira cuma dapat Rp 30 ribuan.
Tapi, dia masih bisa memberi gratis pada semua calon pembeli. Hidup
yang terlihat miris dari luar, ternyata dirasakan begitu manis. Sama
seperti rasa gulali yang ia jual. Ya Tuhan.. sungguh saya terenyuh.
‘Berkah ya, Kek, rejekinya. Amin..’, doa saya dalam hati.
Saya lantas melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Masih dengan
perasaan yang ‘tertampar’. Saya seperti berdialog dengan diri sendiri.
Malu tepatnya.
Kalau dibandingkan, gaji saya jauh lebih besar dari penghasilan
kakek. Saya juga masih muda dan sehat. Cuma kok kebanyakan ngeluhnya.
Hidup yang nggak sempurna-lah, kerjaan yang banyak banget-lah, yah
macem-macem deh. Minim banget rasa syukur.
Tuhan seperti mau mengajari saya bagaimana caranya bersyukur.
Sederhana. Cukup dengan senyum, wajah yang ceria, dan hati yang ikhlas
memberi, tanpa embel-embel kepentingan atau rasa takut kehilangan
rejeki.
Dua hal bodoh yang saya lakukan adalah lupa menanyakan siapa nama
kakek dan mengambil gambarnya. Semoga Tuhan pertemukan saya kembali
dengannya. Masih banyak yang ingin saya pelajari.
Teman-teman bisa coba buktikan sendiri cerita saya bila bertemu
dengannya. Kakek penjual gulali itu dua kali saya temui di sekitar MNC
Tower, kata seorang teman yang juga pernah melihat, kadang suka mangkal
di Jalan Sabang.
Perawakannya kecil, renta, memakai topi kompeni, tanpa alas kaki, dan
memikul dagangan gulali. Kalau saya ketemu dia lagi, saya janji akan
sebutkan nama, juga menunjukkan fotonya. Sebut saja itu janji reporter
galau.
Sumber : Islampos
Tags
Feature 3
Feature 2
Popular Posts
-
Ditulis Oleh : Muhammad Rais Fadillah Kita wajib berlaku ihsan kepada diri sendiri, bahkan sebelum kita berlaku ihsan kepada sesame ...
-
Saya cuma ingin berkongsi pendapat tentang keutamaan hidup kita. Bagi saya dalam apa pun keputusan hidup kita, kita perlu membuat keuta...
-
Tuhan yang beri kita rezeki, dan hanya Dia yang berkuasa mengambilnya semula. Duit dalam genggaman kita, dalam akaun bank, dalam poke...
-
Tolong Menolong Dalam Kebaikan Dan Takwa Bersama Orang Non Muslim Allah berfirman: “ Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu...
-
Situs ini hanyalah dakwah seorang hamba yang tidak lebih hanya mengharap Ridho-Nya :) Semoga dapat memberikan 'Ilmu yang bermanfaat ...
-
40 dampak dan akibat berbuat zina 1) Dalam zina terkumpul bermacam-macam dosa, kemaksiatan dan keburukan 2) Berkurangnya agama / hila...
-
Bahagia bukan hanya hal-hal yang bisa membuat kita bahagia tetapi carilah hal-hal yang membuat kamu sedih dan cobalah berhenti untuk me...
-
Ditulis Oleh : Muhammad Rais Fadillah Sebagimana dalam konteks keimanan, dalam hal menjaga semangat belajar, motivasi untuk berusaha da...
-
RAGU sering sekali menghinggapi kita, misalnya saja ragu kepada hal kebaikan, contohnya : saat melihat pengemis dijalan, kita ragu untu...
-
Ditulis Oleh : Muhammad Rais Fadillah Dewasa ini banyak sekali orang yang merokok, bahkan tak jarang kita jumpai remaja ya...
0 komentar:
Posting Komentar