.

Minggu, 15 Februari 2015

Pentingnya, Etika Bisnis dalam Islam



MENJALANKAN suatu prinsip entrepreunership merupakan pekerjaan yang amat mulia . Rasulullah mengajarkan bagaimana cara seseorang untuk berdagang. Bahkan Rasulullah melakukan perdagangan sampai ke berbagai Negara seperti Persia, Syam, Suariah dan sebagainya.
Doktrin agama yang mewarnai bahkan menjadi sumber etik dalam dunia bisnis merupakan sebuah kendali yang memandu perjalanan bisnis.
Berhasil tidaknya suatu bisnis akan tergantung pada sejauhmana pelaku ekonomi mampu menjalankan bisnisnya dalam kerangka etika agama.  Bisnis, sebagai obyek manusia, sulit lepas dari etika yang inheren dalam diri manusia, karena manusia, secara esensial, merupakan umat yang beretika dan bermoral.
Dalam berbisnis atau berdagang seseorang perlu memperhatikan usaha kedepan agar dapat menambah nilai manfaat.
Selain itu tekun, antusias lentur, dan tangguh pun menjadi tameng berbisnis agar menjadi suatu kekuatan dalam menjalankan bisnis.
Paradigma ini kemudian membingkai perilaku manusia dalam berbagai kegiatan bisnisnya dengan bingkai etika. Dalam konteks inilah, etika bisnis menjadi sebuah kerangka yang harus melekat dalam dunia bisnis ketika suatu bisnis diniscayakan mampu mewujud dalam suatu keberhasilan.
Keberhasilan, atau dalam karya Munrokhim disebut sebagai kesejahteraan, harus didasarkan pada suatu pandangan yang komprehensif tentang suatu kehidupan. Kesejahteraan menurut ajaran Islam menyentuh dua realitas makna.
Pertama, kesejahteraan holistik dan seimbang, yakni kecukupan materi yang didukung oleh terpenuhinya kebutuhan spiritual serta mencakup individu dan sosial. Sosok manusia terdiri dari unsur fisik dan jiwa, oleh karenanya, kebahagiaan haruslah menyeluruh dan seimbang di antara keduanya.
Demikian juga manusia memiliki dimensi individual sekaligus sosial. Manusia akan merasa bahagia jika terdapat keseimbangan antara dirinya dengan lingkungan sosialnya, dan kedua, kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja, tetapi juga di alam akhirat.
Kecukupan materi di dunia ditujukan dalam rangka memperoleh kecukupan di akhirat. Jika kondisi ideal ini dapat dicapai, maka kesejahteraan di akhirat tentu lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu kehidupan yang abadi dan lebih bernilai dibandingkan kehidupan di dunia.
Kedua makna kesejahteraan tersebut mencerminkan keterlibatan kerangka etika Islam yang harus melekat dalam setiap kegiatan bisnis manusia. Setiap kegiatan manusia di dunia memang diberi kebebasan, namun bukan berarti bebas tanpa batas, tetapi dibatasi oleh norma-norma agama. Norma agama dalam bisnis Islam dikenal dengan etika bisnis Islam.
Di sini, peran etika bisnis Islam sangat urgen karena sangat menentukan suatu keberhasilan yang dicita-citakan Islam. Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai keberhasilan, manusia harus menyadari hakikat keberadaannya di dunia, mengapa manusia diciptakan. Manusia tercipta karena kehendak Pencipta, sehingga manusia akan menuai keberhasilan jika ia mengikuti petunjuk sang Pencipta. Dalam konteks bisnis, etika bisnis Islam merupakan suatu etika yang bersumber pada kehendak Pencipta.
Oleh karena itu, beberapa prinsip etika bisnis yang digariskan Islam merupakan prasyarat untuk membagun keberhasilan di dunia dan di akhirat.
Prinsip-prinsip itu mencakup; pertama, jujur dalam takaran, kedua, menjual barang yang mutunya baik, ketiga, dilarang menggunakan sumpah palsu, keempat, longgar dan bermurah hati, kelima, membangun hubungan baik antar kolega, keenam, tertib adminstrasi, dan ketujuh, menetapkan harga secara transparan.
Doktrin agama yang tercermin dalam beberapa prinsip dasar etika bisnis yang demikian, sacara nyata, berbengaruh terhadap konstruksi keberhasilan ekonomi. Pengaruh agama tidak hanya diyakini dalam Islam dan umat Islam, tetapi juga diamini oleh para ekonom Barat.
Contohnya, semangat kapitalisme yang dibangun Islam juga dibuktikan oleh Zamakhsyari Dhofir. Ia mengatakan bahwa kehidupan pesantren ditandai oleh suatu tipe etika (etos) dan tingkah laku kehidupan ekonomi yang bersifat agresif, penuh watak kewiraswastaan dan menganut paham kebebasan berusaha. Dari watak tingkah laku ekonomi seperti itulah banyak lulusan pesantren yang menjadi pengusaha (pedagang).
Ketika kesuksesan sudah kita raih maka langkah selanjutnya yaitu mensyukuri, dan capai mimpi yang lebih tinggi, rancang, aplikasikan, dan perbaiki terus kesalahan sebelumnya agar kualitas bisnis bias lebih baik lagi. (Sumber: Manajemen Apresiatif/Karya: Risfan Munir/Penerbit: Kaifa Entrepreneurship)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Feature 3

Feature 2

Popular Posts