.

Kamis, 19 Februari 2015

Feminisme, dari New York hingga Kota Gudeg (2)



SETELAH itu muncul organisasi perempuan yang cukup radikal dengan format baru, antara lain: Kalyanamitra dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) –keduanya di Jakarta –serta Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) di Makassar, dan Rifka Annisa di Yogyakarta. Kelahiran organisasi perempuan di Indonesia tak bisa dilepaskan dari konteks internasional, dengan digelarnya Konperensi Perempuan Sedunia I di Meksiko pada tahun 1975.
Setelah itu didirikan Dana PBB untuk Pemberdayaan Perempuan (Unifem). Selanjutnya dilaksanakan Konperensi “Kependudukan dan Pembangunan” di Kairo (1994) yang semakin menjurus pada target penetrasi budaya terhadap Dunia Muslim, dan Konperensi Perempuan Sedunia Beijing (1995) yang mencanangkan agenda besar sepuluh tahun. Agenda itu semestinya diterapkan tahun ini, 2005, namun akhirnya diundur dampai 2010.
Dalam penelitian A.E. Priyono, Stanley Adi Prasetyo, dan Olle Tornquist yang diterbitkan DEMOS, gerakan perempuan modern Indonesia dimasukkan sebagai salah satu varian dari “Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto” (2003). Sementara Anders Uhlin menilai gerakan feminis juga tergolong salah satu kelompok “oposisi yang terserak” sebagai manifestasi dari “arus deras demokratisasi gelombang ketiga di Indonesia” (1997). Jadi, gerakan perempuan punya posisi yang cukup diperhitungkan secara politis.
Selain Kalyanamitra, Uhlin juga mengungkap gerakan feminis lain yang dipelopori Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY), Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), Yayasan Perempuan Mardika (YPM), Solidaritas Perempuan (SP), dan Forum Diskusi perempuan Yogyakarta (FDPY). Dari nama-nama itu segera terlihat betapa “kota gudeg” Yogyakarta amat subur untuk persemaian wacana dan aksi feminisme.
Gerakan perempuan berkiprah mulai dari kajian akademis, pendidikan akan hak perempuan, pendampingan korban kekerasan, serta advokasi hukum dan perubahan kebijakan. Program kajian perempuan saat ini telah terlembaga, bukti kesuksesan gerakan feminisme, menjadi Pusat Studi Wanita di berbagai kampus perguruan tinggi ternama. Sementara program yang bersifat aksi berkembang menjadi lembaga bantuan hukum serta advokasi pekerja perempuan di dalam dan luar negeri. Suara feminis amat vokal.
Perkembangan gerakan feminisme lokal tak bisa dilepaskan dari dukungan lembaga donor (funding) internasional. Lembaga donor yang berasal dari Eropa (HIVOS, NOVIB), Kanada (CUSO), Amerika Serikat (USAID, Ford Foundation), Australia (Aus AID), sama gencarnya menggelontorkan dana seperti lembaga multilateral (UNDP, Unicef). Gerakan perempuan juga membangun jaringan kerja nasional, antara lain yang berakar pada induk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), sampai organisasi lingkungan hidup (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan hak asasi manusia. Puncak perjuangan kaum feminis bisa disebut dengan terbentuknya Komisi Nasional untuk Perlindungan Hak Perempuan (Komnas Perempuan) serta Komisi Nasional untuk Perlindungan Hak Anak (Komnas Anak).
Saat ini mereka memperjuangkan dengan gigih hingga disahkannya Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) nomor 23 tahun 2004. Maraknya kasus kekerasan dalam keluarga (domestic violence), apalagi yang menimpa tokoh-tokoh selebritis telah memicu perhatian publik dan pemerintah. Isu kekerasan domestik tampaknya juga akan didorong ke aras kasus pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) yang cukup kontroversial, karena menggugat arti pernikahan dan hubungan suami-isteri yang semestinya.
Target besar yang tak bisa ditutupi lagi ternyata upaya untuk merevisi beberapa pasal penting dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, terutama tentang ketentuan pernikahan yang harus seagama dan restriksi pernikahan beda agama. Disamping itu juga tentangan sistematis terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993 yang dipersepsikan mendiskriminasi hak dan merendahkan posisi perempuan, karena kebolehan poligami. Pada tahap itulah, gerakan feminisme tak hanya berhubungan dengan tuntutan persamaan hak dan penghargaan terhadap peran perempuan, namun pula menerabas batas-batas ketentuan agama dan hukum.
Program terkini yang mengguncang kalangan muslim di Tanah Air ialah diluncurkannya Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), yang antara lain diawaki oleh Siti Musda Mulia. Feminis yang satu ini bekerja sebagai peneliti di Departemen Agama. Jelas, gerakan feminis telah memasuki struktur birokrasi, tak hanya bermain di pinggiran dalam bentuk kelompok kajian atau aksi lembaga swadaya masyarakat.
Bagaimana respon aktivis organisasi perempuan Muslimah? Tak cukup hanya berkeluh kesah atau pusing kepala menyaksikan gebrakan nyeleneh semacam Amina Wadud yang memimpin khutbah dan shalat Jum’at berjamaah di sebuah gereja di negeri Paman Sam. Dari pusat kota New York hingga kota gudeg Yogya, kaum feminis telah memancangkan “panji perang” terhadap segala bentuk kekolotan, tradisi maupun religi. Maka, kaum Muslimah sedunia bersatu dan bangkitlah. [Sapto Waluyo]
HABIS
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta, 2004

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Feature 3

Feature 2

Popular Posts