.

Selasa, 17 Februari 2015

Feminisme, dari New York hingga Kota Gudeg (1)




Gerakan feminisme menebar dari Barat menuju Timur. Memperjuangkan wacana liberal, sosialis, radikal, hingga akar relijius. Kaum perempuan Muslimah menjadi sasaran utama dari pembaharuan pemikiran dan pembentukan tradisi yang menentang arus utama.
SEJARAH feminisme bisa dilacak ke awal munculnya Revolusi Industri di Inggris pada abad 17, ketika manusia turun derajatnya sebagai mesin produksi. Derita berganda dirasakan kaum perempuan yang disuruh menjaga rumah, karena kaum lelakinya sibuk bekerja di pabrik. Sebagian diantara perempuan malang itu ada yang terpaksa menjadi pekerja seksual untuk melayani syahwat buruh lelaki yang kelelahan diperas majikannya. Mereka membuthkan hiburan murah dan sesat bernama prostitusi. Kala itu feminisme bermakna perlawanan menghadapi belenggu industrialisasi dan modernisasi awal.
Pemikir feminis modern pertama bisa dirujuk adalah Simone de Beauvoir (1908 – 1986), pacar Jean Paul Sartre sang penggagas filsafat eksistensialisme. Simone menulis buku “The Second Sex” yang melukiskan kerendahan status kaum perempuan di tengah dunia yang dikuasai para lelaki. Baik dalam hal pekerjaan, maupun peran sosial-politik, perempuan sering dinomorbelakangkan, hatta di negeri yang maju seperti kawasan Eropa. Karena itulah, feminisme dihayati sebagai upaya mencari identitas diri yang sejati dan merumuskan posisi yang ideal di tengah masyarakat bergolak.
Secara praktik, seperti digambarkan Barbara Drygulski Wrigth dalam buku “Women, Work, and Technology” (1987), penemuan mesik tik tahun 1870 telah mengubah proses feminisasi pekerjaan di kantor, khususnya di negara bagian Boston, Amerika Serikat. Proporsi perempuan pekerja meningkat pesat dari 10,6% (524 orang) pada 1880, menjadi 17,5% (1.975 orang) tahun 1885 dan menjadi 25,2% (4.217 orang) pada 1890.
Dalam waktu 10 tahun, rasio perempuan karir melesat dua kali lipat. Berkat mesin tik, posisi posisi perempuan seolah terangkat menjadi sekretaris – istilah keren untuk pekerjaan yang bergaji lumayan. Itu merupakan cermin dari perubahan drastik yang kemudian menggejala ke seluruh dunia. Perempuan tak lagi terikat pada tugas domestik, mereka mulai meninggalkan rumah dan menitipkan bayinya kepada anggota keluarga atau tempat penitiapan anak.
Menurut telaah Kristin Switala, kreator dan editor dari Feminist Theory Website, bidang garap feminisme amat luas, mencakup urusan seni dan estetika, antropologi budaya, kesehatan fisik dan psikologis, media komunikasi, sejarah, ekonomi, dan politik. Tentu saja sampai menyentuh bidang huku dan persamaan hak, termasuk bagi kaum lesbian yang menyukai sesama jenis perempuan.
Guru besar bidang filsafat di University of Tennessee itu sendiri ahli falsafah Perancis dan Jerman. Salah satu tesis pentingnya tentang “A Study of the Discursive Shift in Etiological Theories of Schizophrenia: 1965-1984,” yang mengkaji aspek biologis, genetik, psikoanalitik, sosiologik, dan filosofis dari fenomena schizophrenia. Kaum pemberontak feminis menang sering mengalami goncangan psikologi menghadapi tekanan lingkungannya. Masyarakat Barat pada umumnya mengalami masalah kejiwaan akibat perkembangan kapitalisme dan materialisme yang kering dari nilai spiritual.
Pada 1989, Switala memperoleh gelar Doktor filsafat dari Vanderbilt University. Ia menulis disertasi “The Mutation of Language in Foucault.” Dari situ jelas bahwa Switala tergolong penganut postmodernisme yang merupakan salah satu aliran dari gerakan feminisme. Aliran utama lainnya adalah Liberal, Sosialis, Radikal, dan Relijius (Lihat tabel 1).
Sejarah gerakan perempuan di Indonesia terlacak mulai dari berdirinya Poetri Mardika (1912) hingga penyelenggaraan Kongres Perempuan pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Di zaman Jepang, tampil Gerakan Wanita Sosialis (GWS) yang amat menonjol, meski bergerak di bawah tanah. Lalu, lahir Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang seideologi pada tahun 1950 dengan anggota awal berjumlah 500 perempuan. Pada 1954 Gerwis berubah menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), dimana anggotanya bertambah menjadi 700.000 orang pada 1960. Setelah itu Gerwani semakin radikal dan sangat dipengaruhi pemikiran tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), walaupun akhirnya pendiri Gerwani S.K. Trimurti kemudian menolak paham dan praktek komunisme yang antikemanusiaan.
Organisasi perempuan di era Orde Baru didominasi Dharma Wanita atau Dharma Pertiwi yang menampung para isteri pejabat dan pegawai negeri. Perempuan dibawah rezim Soeharto hanya menjadi aksesori dan pelengkap seremoni belaka, kecuali Nyonya Tien Soeharto yang menguasai penumpukan modal dan aset negara. Perempuan juga menjadi legitimasi program pembangunan yang berciri khas kapitalisme dan materialisme, seperti Keluarga Berencana (KB) yang dipaksakan untuk menciptakan komposisi demografi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. [Sapto Waluyo]
BERSAMBUNG
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta, 2004

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Feature 3

Feature 2

Popular Posts