Peneliti Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA), Sarah Mantovani
mengatakan para orangtua harus mempelajari sejarah Valentine Day agar
dapat menjelaskan kesesatan perayaan itu kepada anak-anak mereka yang
beranjak dewasa.
Say No to Valentine Day |
“Orangtua harus menjelaskan bahwa Valentine itu ternyata tidak semanis
namanya, valentine itu bukan budaya kita,” kata Sarah kepada Kiblat.net,
pada Selasa (03/02)
Dia melihat, masih banyak orangtua yang masih awam tentang sejarah
Valentine Day. Padahal Valentine masih ada kaitannya dengan sejarah
peradaban Barat. Akan menjadi persoalan ketika para orang tua tidak bisa
menjawab pertanyaan anak-anaknya terkait kenapa mereka dilarang
merayakan Valentine.
“Maka mempelajari dan mencari tahu sejarahnya itu wajib hukumnya bagi para orangtua,” ucap Sarah.
Sarah menjelaskan, bila ditelusuri sejarah Valentine itu terdapat dua
versi. Versi pertama berasal dari perayaan Lupercalia atau upacara
pensucian pada zaman Romawi Kuno yang dipersembahkan untuk Dewi Cinta
bernama Juno Februata.
“Valentine ini masih ada hubungannya dengan pemujaan terhadap dewa (perayaan pagan),” paparnya.
Di dalam sejarah dijelaskan, selama perayaan yang berlangsung dari
tanggal 13-18 Februari itu, para laki-laki mengundi nama para gadis di
dalam kotak undian. Kemudian para gadis itu dijadikan sebagai objek
hiburan dan senang-senang semata oleh para laki-lakinya, bahkan hingga
ada acara pelecutan tubuh untuk para perempuan. Para perempuan itu
bersedia dilecut, karena mereka percaya lecutan tersebut akan membuat
mereka jadi lebih subur.
“Dengan menjadikan wanita hanya sebagai objek hiburan, Barat sangat
merendahkan para wanitanya melalui acara Valentine ini,” tegasnya.
Kemudian, lanjut Sarah, versi kedua berasal dari kematian Saint
Valentine yang terjadi pada Tahun 496 Masehi. Paus Gelasius I mengubah
upacara Romawi kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint
Valentine’s Day untuk menghormati Saint Valentine yang katanya meninggal
pada 14 Februari.
“Kalau merujuk ke sini, jelas nggak nyambung dengan inti perayaan
valentine yang mengagungkan kasih sayang dan sangat jelas terlihat bahwa
Valentine itu tidak semanis namanya,” lontarnya.
Sarah menegaskan kembali, bahwa Valentine Day bukan budaya bangsa
Indonesia. Hingga saat ini belum pernah terdengar atau menemukan
orangtua-orangtua dari awal abad 20, merayakan dan memperingati
Valentine.
“Jangankan merayakan atau memperingati Valentine, berpakaian ala Barat
yang buka-buka aurat itu aja mereka malu sekali, apalagi sampai
merayakan Valentine,” ucapnya.
Sumber : Kiblat.Net
0 komentar:
Posting Komentar