Tahun 1938 atau 76 tahun yang lalu, organisasi-organisasi perempuan
Indonesia mengadakan Kongres Perempuan di Bandung. Kongres tersebut
memutuskan agar setiap tanggal 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu
dengan semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma”.
Maka, tulis Sujatin Kartowijono dalam bukunya Perkembangan Pergerakan
Wanita Indonesia, kaum wanita mulai menghayati cita-cita Ibu Keluarga,
Ibu Masyarakat, dan Ibu Bangsa[1].
Adanya Hari Ibu, fungsi dan peran perempuan, oleh
organisasi-organisai perempuan Indonesia, dikembalikan pada tempatnya
semula karena pada tahun-tahun tersebut telah lahir gerakan-gerakan
feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan,
seperti Poetri Merdika yang didirikan pada tahun 1912 di Jakarta dengan
bantuan Budi Utomo dan mempropagandakan gagasan-gagasannya mengenai
emansipasi melalui koran mereka, Poetri Merdika[2],
kemudian Istri Sedar, didirikan di Bandung pada tahun 1930, yang
akhirnya berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
setelah sembilan tahun Indonesia merdeka[3].
Corak feminis yang melekat pada Istri Sedar terlihat dari berbagai
tulisan para anggotanya yang dimuat dalam koran mereka bernama Sedar, salah satunya dalam tulisan berjudul “Persamaan Hak dan Persamaan Kewadjiban”, September-Oktober 1931, “Apakah
kewadjiban dari perempoean Indonesia sekarang? Ialah bekerdja soepaja
sebagai manoesia sepenoeh-penoehnja sebagai manoesia, jaitu soepaya
diakui bahwa haknja haroes sama dengan lelaki.”
Kemudian seiring dengan pergantian rezim dan semakin berkembangnya
pergerakan perempuan Indonesia yang ditandai dengan munculnya
organisasi, lembaga-lembaga maupun pusat studi wanita yang beraliran
feminisme, Hari Ibu seakan-akan telah tergantikan dengan Hari Perempuan
Sedunia yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Hari perempuan lebih
patut diperingati daripada Hari Ibu, karena kata “Ibu” sendiri
mencerminkan penindasan bagi perempuan dan dianggap mempersempit ruang
gerak perempuan.
Penolakan feminis terhadap domestikasi perempuan atau peran perempuan
sebagai Ibu Rumah Tangga menuai dukungan dari seorang feminis
Indonesia dengan melahirkan istilah “Ibuisme Negara”. Istilah ini juga
disebut-sebut sebagai respon atas Pancadharma yang dibuat pada era pemerintahan Soeharto.
Pemerintahaan pada era Soeharto saat itu, sebagaimana ditulis Dewi Candraningrum, dalam makalahnya Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu, merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadharma,
pen), yaitu: Pertama, wanita sebagai istri pendamping suami. Kedua,
wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda. Ketiga, wanita
sebagai pengatur ekonomi rumah tangga. Keempat, wanita sebagai pencari
nafkah tambahan. Kelima, wanita sebagai anggota masyarakat, terutama
organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan
tenaga kepada masyarakat[4].
Ibuisme Negara dalam perspektif feminis merupakan Weltanschauung
(pandangan dunia, pen) yang memangkas identitas eksistensial perempuan
sebagai manusia seutuhnya. Darinya perempuan dibonsai, dipangkas,
dikerdilkan, direduksi, pada arena domestik—sebagai istri, sebagai ibu,
sebagai pendidik dan penanggungjawab terhadap anak, dan penyokong
negara. Memenjara Ibu hanya pada fungsi-fungsi di atas juga dianggap
feminis bersifat sangat Freudian, eksklusif, tidak egaliter, subordinatif dan represif terhadap perempuan[5].
Padahal, faktanya, gerakan-gerakan perempuan Indonesia dulu menolak
persamaan hak berbungkus emansipasi, di sisi lain mereka tidak merasa
disubordinasi, di eksklusifkan, diperlakukan represif, direndahkan
maupun ditindas karena peran mereka sebagai Ibu Rumah Tangga ataupun
sebagai Ibu Pendidik.
Penolakan ini tercermin dalam koran-koran yang mereka tulis, seperti Soenting Melajoe
pada edisi 31 Desember 1914, koran yang didirikan oleh Ruhana
Kudus—Jurnalis Muslimah pertama di Indonesia asal Sumatera Barat.
Intinya tertulis bahwa memuliakan perempuan tidak boleh melebihi
martabat laki-laki:
“Maka dari sebab itoe haroeslah pada pikiran saja yang hina lagi
bodoh ini soepaja kita bersama-sama memoeliakan perempoean kita itoe
(tetapi) tidak boleh melebihi martabat laki-laki, soepaja perboeatan
maasiat itoe tiada dilakoekan dengan begitoe gampang sekali dan dengan
demikian ini terselamat bangsa kita dari pada kehinaan doenia dan nista
bangsa-bangsa lain serta terpelihara mereka itoe daripada hoekoeman
achirat jang siksa dan sengsara itoe.”
Kemudian koran Isteri edisi Desember 1929 milik Perikatan
Perempuan Indonesia (PPI), dimana Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling
(JIB perempuan) dan Aisiyah tergabung di dalamnya, ikut menolak
feminisme, “Dari sebab orang perempoean itoe di titahkan halus
badannja, lemboet pikirannja, lemah perasaannja, tidak sama dengan
laki-laki, adalah kasar, koewat, keras, teristimewa perempoean itoe
mengoeroes kewadjibannja sendiri seperti: mengandoeng anak, melahirkan,
memberi air soesoe anak, mengasoeh, mendidik, dsb, maka tentoelah tidak
dapat sempoerna akan mendjalankannja kewadjibannja sendiri. apakah baik
kesehatan iboe jang sedang sedang dirinja mengandoeng anak, dengan beres
bolehnja bekerdja di goedang-goedang? Apa kiranja bisa menggali
goenoeng dengan berhenti melahirkan anak?? Apakah dapat berbaris dengan
memberi air soesoe anaknja??? Apakah sempoerna bolehnja mengasoeh
anaknja djika ia mendjadi poelitie (Polisi, red) atau resisir???
Soedahlah soedah!! Soenggoeh moestahil sekali dan tidak dapat, karena
bertentangan dengan natuur.”
Selain itu, Pengurus Ibu Sibolga, Medan, melalui korannya Soeara Iboe edisi Juni 1932 juga menekankan agar pergerakan perempuan Indonesia jangan sampai seperti perempuan Barat.“Djadi
semestinja bagi kita kaoem perempoean tentangan jang hendak madjoe
dalam pergerakan itoe, hendaklah djangan sampai sebagai mereka
(perempoean Barat).”
Lalu salah satu Panitia Peringatan Hari Lahir RA Kartini, Soekarsih, menuturkan dalam artikelnya di koran Merdeka edisi 20 April 1946, bahwa perempuan Indonesia tidak perlu mengejar emansipasi. “Kini
kita tidak begitoe perloe mengedjar “emansipasi” atau “persamaan hak”
karena sebagian besar dari masjarakat kita telah menghargai kedoedoekan
wanita.”
Penolakan-penolakan tersebut memperlihatkan bahwa
organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang pada tahun 1938
mengadakan kongres di Bandung membawa semangat anti-feminisme, selain
menyerukan semangat anti imperalisme dan kolonialisme.
Kalaulah para organisasi perempuan saat itu tidak membawa semangat
anti-feminisme, pastilah mereka tidak menamakan Hari Perempuan dengan
Hari Ibu.
Sumber : salam-online.com
Tags
Feature 3
Feature 2
Popular Posts
-
Ditulis Oleh : Muhammad Rais Fadillah Kita wajib berlaku ihsan kepada diri sendiri, bahkan sebelum kita berlaku ihsan kepada sesame ...
-
Saya cuma ingin berkongsi pendapat tentang keutamaan hidup kita. Bagi saya dalam apa pun keputusan hidup kita, kita perlu membuat keuta...
-
Tuhan yang beri kita rezeki, dan hanya Dia yang berkuasa mengambilnya semula. Duit dalam genggaman kita, dalam akaun bank, dalam poke...
-
Tolong Menolong Dalam Kebaikan Dan Takwa Bersama Orang Non Muslim Allah berfirman: “ Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu...
-
Situs ini hanyalah dakwah seorang hamba yang tidak lebih hanya mengharap Ridho-Nya :) Semoga dapat memberikan 'Ilmu yang bermanfaat ...
-
40 dampak dan akibat berbuat zina 1) Dalam zina terkumpul bermacam-macam dosa, kemaksiatan dan keburukan 2) Berkurangnya agama / hila...
-
Bahagia bukan hanya hal-hal yang bisa membuat kita bahagia tetapi carilah hal-hal yang membuat kamu sedih dan cobalah berhenti untuk me...
-
Ditulis Oleh : Muhammad Rais Fadillah Sebagimana dalam konteks keimanan, dalam hal menjaga semangat belajar, motivasi untuk berusaha da...
-
RAGU sering sekali menghinggapi kita, misalnya saja ragu kepada hal kebaikan, contohnya : saat melihat pengemis dijalan, kita ragu untu...
-
Ditulis Oleh : Muhammad Rais Fadillah Dewasa ini banyak sekali orang yang merokok, bahkan tak jarang kita jumpai remaja ya...
0 komentar:
Posting Komentar